welcome!
Don't judge a book from its cover, but you can judge me from the books in my BOOKCASE.
Tentara Jepang melakukan pembantaian besar-besaran di Nanking saat mereka melakukan invasi ke China pada tahun 1937. Mereka melakukan pemerkosaan, perampasan, pembakaran, serta eksekusi terhadap tawanan perang dan penduduk sipil. Ini merupakan peristiwa paling tragis yang dialami bangsa China. Karena kekejamannya di Nanking, seorang letnan Jepang bernama Junzo Fuyuki mendapat julukan yanwangye— si Iblis.
Tokyo ditulis oleh penulis yang terkenal dengan novel-novel thrillernya, Mo Hayder. Hayder biasanya menulis novel-novel kriminal, dan walaupun Tokyo ditulis dengan memasukkan latar belakang sejarah, hasilnya tidak mengecewakan. Tokyo adalah buku wajib baca untuk penggemar cerita history-thriller.
Tokyo secara gamblang menggambarkan sejarah pendudukan Jepang di China, khususnya di daerah Nanking. Di buku ini diceritakan betapa kejamnya bangsa Jepang pada saat itu, di mana Jepang melakukan pembantaian yang sangat kejam di Nanking. Tentara Jepang membunuh penduduk Nanking, menumpuk mayat-mayat penduduk Nanking menjadi bukit mayat yang mengerikan, dan membakar habis desa mereka. Pembantaian di Nanking benar-benar menjadi sejarah pahit bagi Jepang dan China.
Walaupun banyak sekali flashback dalam buku ini, tapi alurnya sama sekali tidak membingungkan. Ceritanya berlatar tahun 1990, saat tokoh yang bernama Grey datang jauh-jauh datang dari London ke Tokyo, tinggal di apartemen kumuh, dan bekerja sebagai perempuan penghibur di club malam untuk membiayai hidupnya di Jepang, demi untuk mengungkap kebenaran pembantaian keji di Nanking pada tahun 1937. Keinginannya untuk mencari kebenaran sejarah di Tokyo, sudah menjadi obsesi seumur hidupnya. Bahkan obsesinya ini membuatnya terlibat masalah dengan bos Yakuza—mafia Jepang—yang melakukan banyak pembunuhan kejam terhadap orang-orang di sekitar Grey.
Kebenaran yang dicarinya di Tokyo ada pada seorang profesor di Universitas Todai, yang merupakan saksi hidup peristiwa pembantaian di Nanking. Obsesinya dalam mendapatkan jawaban atas semua pertanyaannya akan sejarah di Nanking menunjukkan bahwa kebenaran haruslah diungkapkan betapapun pahitnya, dan kebenaran ada dalam sejarah.
Continue reading...
Buku ini keren sekali! Sumpah keren sekali!
Middlesex, karya Jeffrey Eugenides, adalah buku international bestseller, pemenang Pulitzer Prize—penghargaan tertinggi di bidang jurnalisme cetak, dan menjadi buku pilihan di Oprah's Book Club.
Saya beruntung sekali bisa memiliki buku ini, apalagi mendapatkannya dengan gratis. Maka dari itu, alangkah tidak tahu dirinya saya kalau tidak berterima kasih pada teman saya, yang telah ridho bin rhoma memberikan bukunya—yang jauh-jauh didapatkannya dari menonton Kick Andy di Jakarta—kepada saya. Nuhun pisan. Kamu baik sekali, Ty!
Middlesex menceritakan tentang Calliope Stephanides—seorang yang berkelamin ganda—yang besar di pinggiran kota Detroit di tahun 1960an. Selama empat belas tahun Cal menjalani kehidupan sebagai anak perempuan. Suatu hari Cal mengalami kecelakaan yang membuatnya masuk rumah sakit, dan dokter yang menanganinya menemukan bahwa dia (juga) adalah seorang laki-laki.
Cal adalah seorang pseudohermaphrodite laki-laki, atau seseorang yang secara genetis adalah laki-laki, namun secara fisik perempuan. Dari tes endokrin, diketahui bahwa Cal mempunyai kromosom XY, level testosteron yang tinggi, dengan kurangnya enzim 5-alpha-reductase sehingga tubuhnya tidak memproduksi dihydrotestosteron. Artinya, ketika dalam rahim, ia mengalami perkembangan kelamin perempuan seperti pada umumnya. Namun, setelah memasuki masa puber, hormon testosteron mengambil alih peran perkembangan seksualnya.
Pertanyaan bagaimana bisa Cal menjadi seorang hermaprodit terurai dari sejarah dan asal usul keluarganya yang melakukan incest, atau perkawinan sedarah. Dampak perkawinan antarsaudara itu tidak muncul pada turunan-turunan sebelumnya, sampai akhirnya Cal yang mendapat getahnya. Kromosom kelimanya yang bermutasi resesif memaksanya menjalani kehidupan dan pendewasaan sebagai manusia berkelamin ganda.
Continue reading...
The Catcher in The Rye digambarkan sebagai bacaan favorit para remaja anti-sosial sampai psikopat. Kontroversi seputaran buku karangan J.D. Salinger yang diterbitkan pada tahun 1945 mengakibatkan buku ini dilarang beredar di Amerika Serikat karena isinya yang dianggap memicu tindakan negatif pada diri remaja.
Tokoh utamanya bernama Holden Caulfield, 17 tahun, seorang siswa sekolah lanjutan tingkat atas yang baru saja dikeluarkan dari Pencey Prep, sekolah ketiganya, sebelum dia dikeluarkan dari Elkton Hills dan Whooton School. Buku ini menceritakan petualangan, atau lebih tepatnya kekacauan, yang dialami Holden sejak dia meninggalkan Pencey dan memutuskan untuk tinggal di sebuah hotel dan berkeliaran di seputaran New York sebelum ia pulang ke rumah.
Salinger menggambarkan kehidupan Holden sebagai penghuni kelas atas New York, sehingga dengan uang yang dimilikinya, dia bisa berkeliaran di bar-bar mewah New York. Namun segala kelebihan yang ia miliki tidak dapat membebaskan dirinya dari pikiran-pikiran pesimis dan pandangan sinis terhadap dunia dan orang-orang disekitarnya. Holden membayangkan masa depannya “apabila tidak berakhir dengan bunuh diri, maka akan berakhir di rumah sakit jiwa”.
Awal dari sikap sarkastik Holden digambarkan ketika ia mengalami trauma setelah kematian adiknya, Allie, akibat kanker pada saat Holden berusia 13 tahun. Kondisi ini diperburuk dengan perubahan drastis sikap kakaknya D.B., yang baru pulang dari medan perang dan sejumlah kejadian di sekolahnya yang menyebabkan kehidupan sosialnya semakin terpuruk. Seperti ketika ia menyaksikan kematian teman sekelasnya, James Castle, yang melompat dari kamarnya karena diganggu oleh sekelompok siswa, namun para pelakunya tidak dikenai hukuman apapun.
Holden mengalami sebuah kondisi yang oleh American Psychiatric Association disebut sebagai Post-Traumatic Stess Disorder (PTSD) yang merupakan trauma kronis terhadap suatu kejadian yang dialami penderita. The Catcher in The Rye dapat dikatakan sebagai pionir penulisan novel yang menggambarkan narator atau orang pertamanya sebagai penderita PTSD, dan kita dipaksa untuk memasuki alam pikirannya yang kacau balau dan antah berantah. Dalam kasus Holden, ia beruntung memiliki adik perempuan, Phoebe, yang merupakan satu-satunya penghubung antara pikirannya dengan dunia luar.
The Catcher in The Rye merupakan karya terpopuler Salinger, karena walaupun sempat dilarang namun buku ini memiliki sejumlah penggemar yang menjadikannya sebagai panduan hidup atau dikalangan penggemar fanatiknya lebih dikenal dengan istilah “Holden Bible”.
Kontroversi novel Salinger ini kemudian menjadi sumber inspirasi bagi para penulis tentang PTSD yang terbit sesudahnya seperti Sylvia Plath, dan menginspirasi sejumlah band untuk membuat lagu yang didasarkan pada karakter Holden, salah satunya yaitu Greenday dalam Jesus of Suburbia. Bahkan penggemar fanatik John Lennon yang kemudian menembaknya, Mark David Chapman, ketika ditangkap polisi membawa novel karya Salinger ini, dan mengaku telah habis membacanya tepat pada pagi dimana ia menembak Lennon.
(Ally, penulis bukanlah seorang psikolog, cuma seorang sok tahu yang ingin memaparkan sedikit tentang buku favoritnya).
Continue reading...
Buku Flowers for Algernon adalah novel fiksi ilmiah karya Daniel Keyes, yang ditulis dalam bentuk progress report oleh seorang korban penelitian, Charlie Gordon. Jangan heran jika di halaman-halaman awal akan banyak sekali ditemukan kesalahan penulisan kata. Kata-kata tersebut bukanlah salah ketik ataupun kesalahan editing, namun dalam buku ini, Charlie adalah seseorang yang ber-IQ sangat rendah. Sedangkan Algernon sendiri adalah tikus laboratorium yang dioperasi untuk meningkatkan kecerdasannya, dan berhasil. Peneliti yang melakukan operasi tersebut ingin mencobanya pada manusia, dan akhirnya menemukan Charlie sebagai kelinci percobaan.
Operasi berhasil dilakukan, dan lama-kelamaan IQ Charlie pun meningkat. Charlie berubah dari seorang idiot menjadi super jenius. Charlie mengerti banyak bahasa walaupun tidak pernah mendengar bahasa-bahasa itu sebelumnya. Charlie menjadi tertarik sekali membaca banyak jurnal, seperti jurnal kedokteran, polirik, bahkan astronomi. Charlie menjadi jenius di berbagai bidang, bahkan kecerdasannya melebihi para profesor dan ilmuwan.
Walaupun Charlie adalah seorang super jenius, masa lalunya sebagai seseorang dengan keterbelakangan mental, membuatnya tidak mengerti sama sekali tentang kehidupan. Walaupun cerdas, Charlie tidak tahu apa itu hidup, hubungan sosial, persahabatan, mencintai dan dicintai, bahkan tidak tahu bagaimana cara menangis. Kejeniusannya bahkan membuat banyak orang menjauhinya. Para ilmuwan membencinya karena Charlie jauh lebih jenius dari mereka. Jadilah Charlie si jenius kesepian.
Algernon, si tikus, pun tidak punya interaksi yang baik dengan manusia juga sesama tikus. Lama-kelamaan Algernon kehilangan kontrol, mengalami kemunduran drastis, dan akhirnya mati. Charlie yang mengalami operasi yang sama dengan Algernon merasa bahwa apa yang dialami oleh Algernon akan terjadi padanya juga. Semua yang dialaminya ditulis lengkap dalam progress report medisnya, yang di akhir laporannya dituliskan bahwa Charlie meminta seseorang untuk menaruh bunga di atas kuburan Algernon.
Continue reading...
"Mungkin kami memang terlibat dalam peristiwa itu. Saya sudah lupa..." -- William Colby, Direktur CIA Divisi Asia Tenggara periode 1962-1967.
Kebenaran bisa dicari dalam sejarah. Tapi bagaimana jika kebenaran sejarah itu sendiri masih dipertanyakan? Seperti Gerakan 30 September 1965, di mana para Jenderal TNI dibantai oleh PKI dan dibuang ke dalam lubang buaya. Banyak hal yang masih menjadi tanda tanya sampai sekarang mengenai peristiwa tersebut.
Mengapa PKI melakukan kudeta padahal pada saat itu Presiden Soekarno anti Barat dan lebih "sayang" pada China yang komunis? Pasti PKI punya posisi istimewa pada saat itu. Tapi mengapa mereka berkhianat?
Apakah Untung dan Aidit hanyalah alat dari pembantaian itu? Mungkin memang ada kekuatan besar di belakang mereka.
Benarkah CIA berencana membunuh Soekarno karena kedekatannya dengan komunis, seperti saat CIA membayar $ 42,000 untuk pembunuhan Presiden Vietnam Selatan, Ngo Dien Diem, atas persetujuan Presiden Kennedy?
Mengapa Soeharto lolos dari pembantaian 30 September, sedangkan Jenderal lainnya terbunuh?
Lalu apa hubungan Adam Malik dengan CIA dan Hubert Horatio Humphrey, Wakil Presiden Amerika Serikat pada saat itu?
Kabur. Tidak ada jawaban yang pasti. Yang pasti hanyalah, "Darah itu merah, Bung!"
The Forgotten Massacre ditulis oleh Peer Holm Jorgensen, seorang pelaut Denmark yang sudah berkeliling dunia dengan kapal dagang sejak umur 16 tahun. Dari perjalanannya tersebut, dia memperoleh pandangan dan pemikiran yang luas dan dalam tentang keragaman jenis politik, karakter masyarakat di seluruh dunia, pada masa dunia sedang sibuk dengan konflik internasional. Dan buku ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadinya ketika berada di Indonesia tahun 1965. Novel ini mengajak kita memandang Tragedi G 30 S/PKI dari kacamata orang asing dan dari sisi yang lebih humanis.
Biasanya orang Indonesia tidak begitu suka membaca tulisan orang asing mengenai Indonesia. Namun di sini penulis menunjukkan kecintaannya pada Indonesia dan masyarakatnya. Dalam buku ini kita akan banyak menemukan "pembelaan"nya atas keadaan yang terjadi di Indonesia. Menurutnya Indonesia indah dengan masyarakat yang ramah. Bahkan di buku ini ditegaskan bahwa Indonesia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki negara-negara lain di dunia.
Selain menunjukkan simpati pada Indonesia, di sini penulis jelas-jelas mengutuk penjajahan yang dilakukan oleh bangsa kulit putih. Ada yang salah dengan bangsa kulit putih. Penyakit apa yang mereka derita? Mengapa kekuasaan begitu penting? Mengapa begitu penting merampok orang-orang lain dari tanah dan negara mereka?
Dalam buku ini juga diungkapkan rasa kebencian penulis terhadap orang Inggris, Belanda, Jerman, dan bangsa apapun lainnya yang pergi untuk mencuri tanah orang lain, menindas mereka, memaksa meraka untuk mempercayai Tuhan tertentu yang mungkin sama sekali bukan Tuhan mereka, mencuri kekayaan mereka, menjadikan mereka budak, dan membiarkan mereka terus miskin. Termasuk juga kebenciannya pada Jepang, yang telah memperkosa Indonesia.
Bukan hanya itu. Ada hal menarik yang disinggung dalam buku ini, yaitu mengenai ketertarikan pada sesama jenis atau homoseksualitas. Di sini si penulis menanyakan kok bisa perempuan bisa tahu jika seorang pria itu homoseksual. Apakah perempuan punya indra keenam atau ketujuh?
*haha.. belum tau dia!! tanya ke si gue!*
Continue reading...
poisoning is the most intelligent form of murder
BLIND EYE is a book written by James B. Stewart, the winner of the Pulitzer Prize. Blind Eye is a true story about Michael Swango, a serial killer, was suspected of having fatally poisoned more than 60 people between 1984 and 1997 as an intern or resident at a number of hospitals and health-care establishments. He may have poisoned and killed patients under his care over the past 10 years when he worked in Ohio, Quincy, Massachusetts, Virginia, South Dakota, New York, and Zimbabwe. In all those places, this affable doctor had been suspected in a number of deaths and sudden illnesses.
Swango did not often vary his methods of murder. With non-patients, such as his co-workers at the paramedic service, he used poisons, usually arsenic, slipping them into foods and beverages. With patients, he sometimes used poisons as well, but usually he administered an overdose of whichever drug the patient had been prescribed, or wrote false prescriptions for dangerous drugs for his patients.
When he was in medical school, he used to study while racing into the hall. Instead of studying days or weeks before the exams like the other students, he studied between exams. His classmates and lecturers called this method of studying as "swangoing" or "to swango". Now we all know it as "study in the last minutes", or "SKS: Sistem Kebut Semalam".
After finishing my exams, i heard someone said "Goddamn SKS!" Oh.. you really don't know how great swangoing is. I am a BIG fan of swangoing. I always do my assignments and study for exams a night before, and sometimes couple hours before. I always do that because I know something good about swangoing: it is POISONOUS! Swangoing kills. Everytime I do swangoing, I am always scared of failing. But that is what I like most. I love that poison. That sensation, you know.. makes me live, energizes me.
Michael Swango was a murderer, and I know that I could be murdered, not by him but by his swangoing. And everytime I saved, I felt EXTREMELY satisfied.
Continue reading...
A real book is not one that we read, but one that reads us.
W. H. Auden