Untuk memanfaatkan hari libur terakhir sebelum masuk kerja, saya memutuskan untuk berkunjung ke Gunung Tangkuban Perahu bersama Rosalinda Ayamor--nama panggilan yang saya berikan untuk si mbak yang kerja di rumah. Kami berangkat dari rumah pukul 12 lebih sedikit dengan motor saya, si Paria. Entah pukul berapa kami sampai di sana karena saya tidak memakai jam tangan. Yang jelas begitu memarkirkan si Paria, kami langsung mampir ke warung bakso yang dua porsinya seharga Rp 42.000!! Ya, sudahlah... memang kami waktu itu sedang sangat lapar karena belum makan siang.
Setelah selesai makan bakso, kami langsung menjelajah kawasan Gunung Tangkuban Perahu. Tidak ketinggalan, foto-foto!! Dimulai dari papan bertuliskan "Gunung Tangkuban Perahu", terus berlanjut di sepanjang trek di sisi kawahnya.
Entah mengapa papan petunjuk, papan nama, atau papan apapun itu menjadi daya tarik sendiri untuk dijadikan objek dalam foto. Bukan hanya bagi kami, tapi bagi setiap pengunjung di objek wisata apapun, di manapun itu. Mungkin semua orang ingin membuktikan pada orang lain bahwa mereka benar-benar pernah mengunjungi tempat-tempat tersebut dengan berfoto dengan papan petunjuk.
Begitu juga dengan kami. Papan bertuliskan 'Kawah Ratu' begitu menarik perhatian kami. Kamipun terpanggil untuk berfoto dengan papan itu. Sayangnya, perjuangan untuk dapat berfoto dengan sang papan cukup berat. Sudah banyak orang yang menunggu giliran berfoto dengan papan itu.
Lalu tibalah giliran sekelompok perempuan di depan kami. Sebenarnya saya tidak masalah untuk menunggu giliran, tapi perempuan-perempuan itu mungkin masuk ke dalam kategori perempuan rese. Sepertinya mereka sengaja berlama-lama berfoto di papan 'Kawah Ratu' sementara orang lain banyak yang menunggu. Sambil tertawa-tawa dan terus berkata, "Lagi, dong! Lagi, dong!"
Mereka juga melihat hasil foto tanpa beranjak dari sisi papan 'Kawah Ratu' incaran para pengunjung itu, lalu berteriak, "Lagi, dong! Lagi, dong!"
Bagian yang paling menyebalkan adalah saat salah satu dari mereka berkata dengan kencang, "Eh, liat! Yang pake Onyx gue bagus banget hasilnya!"
Lalu perempuan yang menimpali, "Bagusan yang pake Javelin gue, kale!"
Lalu seorang lagi tidak mau kalah, "Ga mungkin! Mana ada cerita Onyx sama Javelin lebih bagus dari Torch!"
Onyx, Javelin, Torch.
Dalam hati saya bertanya, kamera jenis apakah gerangan Onyx, Javelin, dan Torch itu? Karena penasaran, saya pun mencuri-curi lihat kamera apa yang mereka pegang. Betapa saya merasa bodoh karena yang mereka pakai untuk berfoto ternyata adalah ponsel BlackBerry!
Begini, saya memang tidak tahu-menahu soal dunia per-BB-an karena saya tidak memakai ponsel BlackBerry. Bukan saya tidak mampu, hanya saya tidak mau. Saya lebih memilih menggunakan ponsel Android. Jadi maklumlah untuk ketidaktahuan saya. Tapi terlepas dari tahu atau tidaknya saya tentang makhluk apakah itu Onyx, Javelin, Torch, atau apalah itu, untuk apa juga mereka semangat sekali meneriakkan nama-nama itu? Memangnya mereka dibayar oleh BlackBerry?
Ponsel yang mereka pegang itu (mungkin) keren, tapi apa yang terjadi berikutnya sangatlah tidak ada keren-kerennya. Salah satu perempuan kemudian berkata, "Ternyata emang bagusan yang pake Onyx! Kalo gitu gue mau foto yang di Onyx lu."
Lalu perempuan yang diajak bicara itu malah bertanya, "Caranya gimana, ya?"
"Ntar gue pinjem card raidernya."
"Oh, gitu..."
TETOT!!
Itu adalah percakapan paling bodoh yang pernah saya dengar. Seharusnya para pemilik ponsel yang (mungkin) secanggih dan (mungkin) sekeren BlackBerry tahu bagaimana cara efektif untuk mengirim file tanpa harus melepas memory cardnya dan meminjam card reader. Lagipula, sejak kapan reader dibaca RAIDER? Saya setengah mati menahan supaya tidak tertawa.
Don't judge a book from its cover. Ternyata orang-orang yang memegang ponsel keren belum tentu omongannya juga keren. Dan pelajaran berharga yang saya dapat hari ini adalah, jangan mempermalukan diri sendiri di depan papan 'Kawah Ratu'!