welcome!

Don't judge a book from its cover, but you can judge me from the books in my BOOKCASE.

Friday, 18 June 2010

Sentuhan Pembawa Bencana


Ini dia buku yang baru saja selesai saya baca. THE TOUCH karya Daniel Keyes. Sebenarnya buku ini buku terbitan lama, keluaran tahun 1968! Sudah lama sekali memang, tapi saya baru sempat membacanya setelah 42 tahun buku ini ditulis. Awalnya saya memutuskan untuk membaca The Touch setelah terpesona oleh karya Daniel Keyes yang lain, Flowers for Algernon, yang sudah saya bahas di sini. Sayapun berniat untuk membaca karya-karya Daniel Kayes, dan pergilah saya ke sebuah toko buku diskon untuk membeli SEMUA buku Daniel Keyes. The Touch adalah yang pertama saya baca.

The Touch bercerita tentang Barney Stark, seorang pematung yang bekerja di divisi disain sebuah perusahaan pembuat mobil. Kehidupannya berjalan normal sampai pada satu hari terjadi sebuah bencana di divisi riset di perusahaan tersebut. Telah terjadi kecelakaan yang menyebabkan terjadinya tumpahan radioaktif di laboratorium pusat riset. Dari buku ini saya baru tahu ternyata radiasi—yang berasal dari Iridium 192—diperlukan oleh industri mobil dalam banyak hal seperti untuk melacak ketebalan cat pada bodi mobil, mengecek cacat-cacat pada cetakan, dan lain-lain.

Awalnya pihak perusahaan menyatakan bahwa tumpahan radiasi dapat diatasi dengan tuntas, dan tidak ada debu radioaktif yang tersebar keluar. Namun dengan semua langkah-langkah yang telah diambil, ternyata masih ada juga celah yang terlewatkan. Mereka lupa membersihkan sistem ventilasi. Saat pendingin udara dinyalakan, debu radiasi tertiup ke ruang seorang staf divisi riset, Max Prager, yang selalu pergi ke kantor dan pulang bersama Barney dalam satu mobil. Akhirnya debu radioaktif tersebar ke setiap benda yang Max sentuh, termasuk Barney dan mobilnya. Dan seperti efek domino, Barney-pun menyebarkan debu radioaktif itu ke dalam rumahnya, istrinya, dan semua yang ia sentuh di manapun ia berada.

Mereka akhirnya teradiasi dengan gejala muntah-muntah dan muncul luka bakar pada tubuh mereka. Setelah berita tersebar, merekapun disalahkan atas penyebaran debu radioaktif di seluruh kota. Walaupun di buku ini diceritakan tentang penderitaan fisik yang mereka alami, namun di sini penulisnya lebih menekankan pada penderitaan mental dan psikologis. Di buku ini digambarkan bagaimana rasanya berada pada posisi yang disalahkan oleh semua penduduk kota karena telah menyebarkan radiasi, walaupun sebenarnya ia sama sekali tidak terkait dengan kecelakaan yang menyebabkan tumpahan radioaktif itu, dan ia sendiri sebenarnya tertular debu radioaktif dari orang lain yang kebetulan semobil dengannya. Ditambah lagi istrinya sendiri—yang ternyata sedang mengandung—juga ikut menyalahkannya karena tidak diragukan lagi janin yang dikandungnya pasti juga ikut teradiasi.

Semua perlakuan yang diterima oleh Barney menumbuhkan kebencian yang begitu besar dalam dirinya. Bila seseorang tersakiti karena sesuatu yang tidak ia pahami, tentu harus ada orang yang dipersalahkan. Tapi jika tidak ada orang lain yang bisa disalahkan, maka jalan satu-satunya adalah menyalahkan diri sendiri. Membaca buku ini mungkin akan membuat kita sedikit memahami sebuah kepedihan yang mendalam, gangguan psikologis yang bisa dibilang mendekati gila.

Buku ini cukup menarik, tapi menurut saya kekurangannya adalah buku ini terlalu tipis. Cerita diakhiri ketika istri Barney melahirkan bayi mati, yang sebenarnya sudah mati sejak lama saat masih berada dalam kandungan. Akan lebih baik jika dibuat cerita si bayi akan hidup dengan cacat-cacat akibat radiasi. Bukan karena saya suka dengan penderitaan orang lain, tapi setelah selesai membaca The Touch saya kok merasa ceritanya nanggung. Kalau halamannya ditambah sedikit lagi saja, ceritanya mungkin bisa dieksplorasi lebih dalam lagi. Sayangnya bukan saya yang menulis buku ini... ^___^
Continue reading...

Wednesday, 21 April 2010

OUT: Mencari Jalan Keluar atau Lari dari Masalah?



Kekerasan memang bukan jawaban, tapi satu-satunya jawaban. ~ Joseph Stack
Masako Katori, Yayoi Yamamoto, Yoshie Azuma, dan Kuniko Jonouchi adalah empat orang wanita yang bekerja shift malam di sebuah pabrik makanan kotakan di tengah-tengah distrik Musashi-Murayama. Selain mempekerjakan banyak orang Brazil—murni ataupun keturunan Jepang—pabrik tersebut juga menerima para ibu rumah tangga yang ingin bekerja paruh waktu. Di pabrik itu mereka membuat makanan kotakan dengan beberapa menu. Mirip-mirip nasi kotak yang biasa kita makan kalau sedang ada acara tertentu. Bedanya sih makanan kotakan yang mereka buat itu untuk dijual di mini mart untuk sarapan, makan siang, ataupun makan malam.

Masako, Yayoi, Yoshie, Kuniko, dan para pekerja lainnya melakukan pekerjaan yang relatif sama setiap malam. Misalkan untuk membuat kare untuk makan siang, beberapa orang bertugas meratakan nasi, menambah saus kare, mengiris ayam goreng, dan meletakkan irisan ayam di atas kare. Di bagian lain, beberapa orang memasukkan acar ke dalam wadah-wadah kecil, memasang tutup wadah acar, menambahkan sendok, dan memasang tutup kotak makanan. Pekerjaan yang membosankan memang, tapi lumayan untuk menambah penghasilan para ibu rumah tangga seperti Masako, Yayoi, Yoshie, dan Kuniko.


Mereka sebenarnya hanyalah empat orang wanita biasa dengan kehidupan yang berbeda satu sama lain. Namun, satu hal yang membuat mereka sama—tentu saja selain sama-sama bekerja di pabrik makanan kotakan—adalah mereka tidak bahagia.
Masako hidup bersama suami dan anak laki-lakinya. Mereka berkecukupan secara materi, namun hidup tidak seperti layaknya keluarga karena mereka saling tidak peduli satu sama lain. Yayoi adalah wanita muda dan cantik, memiliki suami dan dua orang anak yang masih balita. Yayoi membenci suaminya karena suka berjudi, main perempuan, dan selalu memukulinya. Yoshie adalah janda yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia harus menghidupi anak perempuannya yang suka menghambur-hamburkan uang dan mertuanya yang lumpuh dan sakit-sakitan. Sedangkan Kuniko adalah wanita yang selalu bermimpi jadi orang kaya. Ia terjerat hutang dalam jumlah besar demi memenuhi hobinya membeli barang-barang bermerek.

Hidup mereka berjalan biasa-biasa saja sampai pada akhirnya sesuatu yang buruk terjadi. Suami Yayoi, Kenji Yamamoto, pulang pada larut malam dalam keadaan mabuk dan wajah penuh dengan bekas pukulan. Yayoi yang mencoba menanyakan hal tersebut, malah mendapat pukulan dari suaminya. Berusaha membela diri, Yayoi menjerat leher suaminya dengan tali hingga tewas. Yayoi yang panik lalu meminta bantuan teman-teman perempuannya untuk menyingkirkan mayat suaminya. Akhirnya diputuskan bahwa jalan keluar terbaik adalah dengan memutilasi mayat suaminya dan membuang potongan-potongannya di beberapa lokasi terpisah. Masalahpun terjadi ketika polisi menemukan potongan tubuh suaminya itu di tong sampah di sebuah taman. Yang terjadi selanjutnya membuat mereka tertimpa masalah demi masalah bertubi-tubi.


OUT
adalah salah satu novel kriminal paling keren yang pernah saya baca. Untuk penggemar cerita kriminal, buku ini hukumnya wajib dibaca! Penulisnya, Natsuo Kirino, menjadi pemenang Japan's Grand Prix for Crime Fiction berkat bukunya ini. Jadi tidak diragukan lagi bagaimana kualitas tulisannya. Penulisnya bisa membuat sebuah cerita kriminal yang tidak biasa, dan mampu menggambarkannya dengan sangat gamblang. Saya menyebutnya cerita kriminal yang indah dan artistik. Saya begitu tersedot ke dalam cerita sampai lupa waktu. Buku ini membuat ketagihan. Sekali pegang, dijamin tidak bisa melepaskan buku ini.

Satu hal yang luar biasa dari buku ini adalah saat penulisnya menceritakan—tepatnya menggambarkan—suatu proses mutilasi dengan begitu jelas, tahap per tahap. Alat-alat apa saja yang harus disiapkan, bagian tubuh yang mana yang harus pertama dipotong, bagian-bagian tubuh yang mana yang selanjutnya dipotong, semuanya dijabarkan secara berurutan dan sistematis. Agak vulgar memang, dan bisa berbahaya juga karena bisa menjadi panduan untuk yang ingin melakukannya. Apalagi menurut saya, sebagai seorang penggemar cerita kriminal, mereka yang menyukai cerita kriminal biasanya sedikit "sakit jiwa" seperti saya. Oleh karena itu, para penggemar cerita kriminal punya kecenderungan lebih untuk melakukan tindak kriminal. Sudah terbukti tidak sedikit mereka yang melakukan pembunuhan mendapat panduan dari buku kriminal yang dibacanya.


Tidak kalah hebatnya juga, sang penulis di bukunya ini menjadikan mutilasi sebagai lahan bisnis. Dalam buku ini diceritakan bagaimana akhirnya polisi menemukan potongan tubuh Kenji Yamamoto di tong sampah di sebuah taman. Walaupun Masako, Yayoi, Yoshie, dan Kuniko sempat ditanyai oleh petugas polisi, namun yang menjadi tersangkanya adalah seorang anggota Yakuza. Merasa bisa lepas dari tuduhan, dan dengan keyakinan bahwa polisi tidak akan mencurigai ibu rumah tangga, merekapun akhirnya menjadikan mutilasi sebagai tambang uang dengan menawarkan jasa mutilasi kepada para penjahat yang ingin menghilangkan jejak pembunuhan. Sungguh luar biasa!

Continue reading...

Sunday, 7 February 2010

Ide Brilian Ada di Bawah Pohon


Ada hal yang menarik yang saya temukan ketika membaca buku Middlesex karya Jeffrey Eugenides. Buku ini sudah saya bahas di tulisan saya sebelumnya. Untuk membacanya kembali, silakan lihat di sini.

Dari buku tersebut, saya sadar bahwa kita janganlah suka memandang sebelah mata pada orang yang sedang ngaso di bawah pohon. Jangan menilainya sedang bermalas-malasan saja di bawah pohon. Selain sedang istirahat, atau mungkin sekadar cari angin, mungkin dia juga sedang mencari inspirasi besar yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh siapapun juga.

Menurut legenda China kuno, suatu hari Putri Si Ling-chi sedang duduk-duduk santai di bawah pohon murbei sambil minum teh. Tiba-tiba sebutir (atau sebuah, ya?) kepompong ulat sutra jatuh ke dalam cangkir tehnya. Sang Putri berusaha mengeluarkan kepompong itu dari cangkirnya, namun ia sadar kepompong itu mengembang dan mulai terbuka di dalam air tehnya yang panas. Kepompong itu ternyata berubah menjadi helaian benang. Sang Putri lalu memegang salah satu ujung benang itu, dan menyuruh seorang dayang untuk memegang ujung satunya lagi sambil terus berjalan untuk mengurai benang itu.
         mencoba mencari inspirasi di bawah pohon                  Pelayan itu berjalan melewati kamar

tidur sang Putri, memasuki halaman istana, dan melewati gerbang istana sampai keluar dari Forbidden City (Kota Terlarang), dan akhirnya tiba di daerah perkampungan yang jaraknya setengah mil dari istana. Itulah awal mula ditemukannya kain sutra China yang terkenal ke seantero dunia. 

Cerita itu mungkin tidak banyak yang tahu. Tapi pasti semua orang tahu cerita tentang bagaimana Sir Isaac Newton—seorang ahli fisika, matematika, astronomi, dan filsafat—menemukan Hukum Gravitasi, yang mengubah pandangan orang terhadap hukum fisika alam dan menjadi dasar dari ilmu pengetahuan modern. Semua itu berasal dari pohon apel, saat Newton sedang duduk-duduk santai di bawahnya. Pada saat itu, tiba-tiba saja sebutir (atau ini juga sebuah, ya?) apel jatuh menimpa kepalanya. Dari apel yang jatuh itu, Newton mengambil kesimpulan bahwa ada suatu kekuatan yang menarik apel tersebut jatuh ke bawah, dan kekuatan itu yang kita kenal sekarang dengan nama gravitasi.

Nah, buat yang lagi buntu, lagi butuh ide, inspirasi, ilham, atau mungkin bisikan-bisikan gaib, sok silakan cari pohon terdekat.
Continue reading...
A real book is not one that we read, but one that reads us.
W. H. Auden
 

bookcase Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Blogger Template In collaboration with fifa
Cake Illustration Copyrighted to Clarice